BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Manusia dalam sepanjang hidupnya hampir-hampir tidak dapat terlepas dari
peristiwa komunikasi. Di dalam berkomunikasi manusia memerlukan sarana untuk
mengungkapkan ide, gagasan, isi pikiran, maksud, realitas, dan sebagainya.
Sarana yang paling utama dan vital adalah untuk memenuhi kebutuhan tersebut
adalah bahasa. Dengan demikian fungsi bahasa yang paling utama adalah sebagai
sarana komunikasi. Setiap anggota masyarakat dan konunitas selalu terlibat
dalam komunikasi bahasa, baik dia bertindak sebagai komunikator (pembicara atau
penulis) maupun sebagai komunikan (mitra bicara, penyimak, pendengar, atau
pembaca) (Sumarlam, 2005:1). Bahasa Jawa merupakan bagian dari bahasa nusantara
dan termasuk rumpun bahasa austronesia yang ada di dunia ini. Secara linier
bahasa Jawa memiliki sejarah yang panjang, area pemakaian yang amat luas dan
jumlah penutur yang banyak, sebanyak orang Jawa yang ada (Wakit Abdullah dan
Sri Lestari Handayani, 2007:11). Bahasa Jawa digunakan di beberapa wilayah di
Indonesia, yang terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa
Yogyakarta, dan sebagian daerah di Jawa Barat, maupun di luar negri.
Dalam
konteks proyeksi kehidupan manusia, bahasa senantiasa digunakan secara khas dan
memiliki suatu aturan permainan tersendiri. Untuk itu, terdapat banyak
permainan bahasa dalam kehidupan manusia, bahkan dapat dikatakan tidak
terbatas, dan antara tataran permainan bahasa satu dengan lainnya tidak dapat
dintentukan dengan suatu aturan yang bersifat umum. Namun demikian, walaupun
terdapat perbedaan adakalanya terdapat suatu kemiripan, dan hal ini sulit
ditentukan secara secara definitif dan pasti. Meskipun orang tidak mengetahui
secara persis sebuah permainan bahasa tertentu, namun ia mengetahui apa yang harus
diperbuat dalam suatu permainan. Oleh karena itu, untuk mengungkapkan hakikat
bahasa dalam kehidupan manusia dapat dilaksanakan dengan melakukan suatu
deskripsi serta memberikan contoh-contoh dalam kehidupan manusia yang digunakan
secara berbeda.
Sebagian
orang berpendapat bahwa bahasa sebagai sesuatu yang kita lakukan untuk orang
lain, sebuah permainan dari simbol verbal yang didasarkan dengan rasa
indera kita (pencitraan). Sebagai sistem mediasi, bahasa tidak hanya
menggambarkan cara pandang manusia tentang dunia dan konsepsinya, tetapi juga
membentuk visi tentang realitas. Hal tersebut, merajut pada pemikiran bahwa
dengan melukiskan bahasa sebagai penjelmaan pikiran dan perasaan, yaitu budi
manusia, maka bahasa itu mendapat arti jauh lebih tinggi daripada sistem bunyi
atau fonem.
Indonesia
mempunyai banyak ragam budaya, antara budaya satu dengan yang lain, salah satu
sarana untuk berkomunikasi dengan bahasa. Terhadap kelompok-kelompok, sekarang
telah menjadi penting dengan adanya kontak antarbudaya, namun diasumsikan bahwa
komunikasi antabudaya itu sangat sulit. Hal ini disebabkan karena jika bahasa
sebagai sistem bunyi gagal mengendap dalam kantong-kantong budaya, maka
masyarakatpun gagal untuk memahami dan dipahami dalam konteks komunikasi
antarbudaya.
Dari
pernyataan diatas dapat dirtarik kesimpulan bahwa bahasa merupakan salah satu
alat untuk mengadakan interaksi terhadap manusia yang lain. Jadi bahasa
tersebut tidak dapat dipisahkan dengan manusia. Dengan adanya bahasa kita kita
dapat berhubungan dengan masyarakat lain yang akhirnya melahirkan komunikasi
dalam masyarakat. Di dalam kehidupan masyarakat fungsi bahasa secara
tradisional dapat dikatakan sebagai alat komunikasi verbal yang digunakan oleh
masyarakat untuk berkomunikasi. Akan tetapi, fungsi bahasa tidak hanya
semata-mata sebagai alat komunikasi. Bagi sosiolinguistik konsep bahasa adalah
alat yang fungsinya menyampaikan pikiran saja dianggap terlalu sempit (Abdul
Chaer, 2004:15). Jika dalam suatu kelompok masyarakat terdiri dari berbagai daerah-daerah
dan penguasaan bahasa yang perbeda-beda akan menimbulkan bahasa yang unik,
apalagi jika suatu kelompok masyarakat tersebut merupakan penguna lebih dari
satu bahasa (multi lingual) akan timbul pencampuran bahasa atau sering
disebut campur kode dan alih kode.Penelitian yang terdahulu tentang tingkat
tutur bahasa Jawa, alih kode, campur kode antara lain penelitian yang di
lakukan oleh : (1) Mulyani, (2) Siti Zuhriyah, (3) Arisanti Suwarso.
Mulyani
dalam tesis di Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul alih kode dan
campur kode dalam kegiatan belajar-mengajar di pesanttren modern “Arrisalah”
kabupaten Ponorogo (kajian Sosiolinguistik). Penelitian ini menampilkan data
alih kode dan campu kodebahasa Indonesia kebahasa Inggris, bahasa Arab, dan
kebahasa Jawa. Dalam analisinya dia meninjau (1) Wujud alih kode yang ditemukan
dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas, di pesantren modern “Arrisalah” serta
kapan munculnya. (2) Campur kode yang ditemukan dalam kegiatan
belajar-mengajar. (3) Faktor-faktor penentu peristiwa alih kode dan campur
kode. Kesimpulan yang di perolehdari penelitian tersebut (1) Terjadi alih kode
dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris, Arab, dan Jawa. (2) kegiatan
alih kode muncul pada kegiatan belajar-mengajar pada awal (meliputi; salam,
tegur, sapa, dan memberikan motifasi), kegiatan inti (meliputi; memberikan
penjelasan, merespon pemahaman santri, dan menerik kesimpulan topik pelajaran),
kegiatan akhir (meliputi; menutup pelajaran, salam, dan motivasi). (3) Terjadi
campur kode ke-luar (counter code mixing) dan campur kode ke-dalam
(inner code mixing) dari base language (bahasa dasar), bahasa
Indonesia. (5) Wujud campur kode berupa penyisipan kata, frasa, idiom atau
ungkapan, kata ulang, dan klausa antar bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris,
Arab, dan Jawa.
Pemakaian
bahasa Jawa dalam Ludruk (tinjauan sosiolinguistik) (1986) oleh Siti Zuhriyah,
yang menbahas tentang aspek kebahasaan yaitu alih kode, interferensi bahasa,
bahasa slang, undha usuk, kosakata, lafal, dan bentuk kata. Inti dari
pembahasanya dalam kajian bahasa Jawa dalam Ludruk memiliki perbedaan-perbedaan
dengan bahasa baku dalam hal lafal kata, bentuk kata, dan kosakata serta banyak
ditemukanya alih kode, interferensi bahasa Indonesia, pemakaian slang, dan pengunaan
ragam krama desa. Skripsi dengan judul Kajian Bahasa Jawa di Desa
Ketandan kecamatan Klaten Utara (suatu tinjauan sosiolinguistik) (2001) oleh
Arisanti Suwarso. Dalam skripsi tersebut mengkaji tentang bentuk bahasa Jawa
dan ragam bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat desa ketandan, kelurahan
Klaten Utara. Salah satu faktor yang menentukan pengunaan ragam bahasa Jawa
masyarakat Desa Ketandan. Pengunaan bahasa Jawa di daerah tersebut mengunakan
jenis wacana berdasarkan pemaparanya. Meliputi wacana historis dan wacana
eksposisi. Tingkat tutur yang diguakan masyarakat tersebut adalah (1) penutur,
(2) mitra tutur, (3) situasi tutur, (4) tujuan tutur, (5) hal yang dituturkan.
Melihat
penelitian terdahulu di atas peneliti tertarik terhadap salah satu kelompok
masyarakat sebagai penguna lebih dari satu bahasa adalah lembaga
pendidikan pesantren atau lebih popular disebut dengan Pondok
Pesantren (selanjutnya disingkat: Ponpes). Terutama Ponpes yang ada di wilayah
Jawa Tenggah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. Karesidenan Surakarta
yang merupakan salah satu daerah yang banyak lembaga pendidikan Ponpes. Lebih
spesifik lagi Boyolali merupakan bagian dari Karesidenan Surakarta yang
mempunyai lembaga pendidikan Islam Ponpes yang sampai sekarang masih ada bahkan
semakin berkembang sistem pendidikanya. Salah satu Kecamatan Boyolali yang
memiliki lembaga pendidikan Ponpes adalah Kecamatan Simo, Desa Gunungmadu.
Lembaga tersebut benama Ponpes Darusy Syahadah (selanjutnya disingkat:
PDS). Bahasa yang umum digunakan di PDS adalah bahasa Indonesia, bahasa Arab, dan bahasa
Inggris, sedangkan bahasa Jawa tidak dipakai dalam aktifitas di PDS, tetapi
dalam bergaul dengan masyarakat sekitar ponpes, bahasa Jawa sering digunakan
dan memegang peranan penting dalam tercapainya suatu komunikasi yang baik.
Secara geografis ponpes tersebut belokasi di
pedesaan sehingga mastarakat sekitar merupakan pengguna bahasa
Jawa. Dalam berkomunikasi dengan masyarakat sekitar, santri PDS mengunakan
beberapa bahasa salah satunnya adalah bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan
sedikit bahasa Inggris. Sehingga dalam komunikasi dengan masyarakat, santri PDS
mengunakan beberapa bahasa secara bersama, sehingga dalam berkomuniasi ada
percampuran bahasa yang digunakan.
Melihat kenyataan
diatas, jika beberapa bahasa tersebut di gunakan untuk berkomunikasi
dengan masyarakat maka akan timbul percampuran bahasa atau pengunaan
bahasa lebih dari satu. Peneliti mengangap bahwa objek tersebut sesuai
dengan bidang linguistik terutama dalam kajian sosiolinguistik, maka
penelitian ini mengunakan judul Pemakaian Bahasa Jawa oleh Santri
Pondok Pesantren Darusy Syahadah Desa Gunung Madu, Simo, Boyolali. Penelitian tersebut
untuk meneliti tentang penggunaan bahasa Jawa oleh sanri PDS dengan
kajian sosiolinguistik.
B.
Pembatasan Masalah
Penelitian ini mengkhususkan pada
pemakaian bahasa Jawa oleh santri Ponpes Darusy Syahadah, yaitu untuk
menentukan ragam bahasa, alihkode campur kode, interferensi, serta pilihan kata
dalam berkomunikasi, terutama berkomunikasi dalam masyarakat.
C.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan
pembatasan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini
mengajukan tiga masalah, yaitu.
- Bagaimanakah bentuk pemakaian bahasa oleh santri Ponpes Darusy Syahadah? (rumusan ini mencakup ragam bahasa, alih kode, campur kode dan interferensi).
- Faktor apa saja yang melatarbelakangi pemakaian bahasa Jawa oleh santri Ponpes Darusy Syahadah? (rumusan ini mengkaji komponen tutur yang terdapat dalam peristiwa tutur).
- Bagaimanakah fungsi pemakaian bahasa Jawa oleh santri Ponpes Darusy Syahadah? (rumusan ini membahas fungsi, ragam bahasa, alih kode, campur kode, dan interferensi).
D. Tujuan Penelitian
Tujuan ahli bahasa adalah untuk mempelajari selengkap mungkin tentang
segala sesuatu yang sistematis dalam pemakaian bahasa (Uhlenbeck, 1982:15).
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
- Mendeskripsikan bentuk ragam bahasa oleh santri Ponpes Darusy Syahadah meliputi ragam bahasa, alih kode, campur kode dan interferensi.
- Menentukan faktor apa saja yang melatar belakangi pemakaian bahasa Jawa Ponpes Darusy Syahadah.
- Mendeskripsikan fungsi pemakaian bahasa Jawa oleh Santri Ponpes Darusy Syahadah.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari suatu penelitian adalah menggambarkan nilai dan
kualitas penelitian. Adapaun manfaat penelitian yang dilakukan ini diharapkan
dapat memberikan manfaat baik secara teoretis, maupun secara praktis.
1.
Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan mengenai
Sosiolinguistik pada umumnya, dan memperjelas kajian bahasa pada khususnya.
Terutama menberikan pemahaman dan pengetahuan tentang wujud alih kode, campur
kode, dan interferensi oleh santri dalam komunikasi lisan.
2.
Manfaat Praktis
a.
Bagi peneliti, diharapkan dapat memberikan informasi tentang alih kode,
campur kode, dan interferensi dalam pandangan sosiolinguistik. Serta dapat
dipakai sebagai bahan acuan untuk penelitian berikutnya.
- Bagi masyarakat, penelitian ini dapat membantu memberi informasi kebahasaan serta mengetahui bagaimana penggunaan bahasa Jawa oleh santri dalam berkomunikasi dengan masyarakat.
F.
Sistematika Penulisan
Sehubungan dengan penulisan
penelitian, sestematika penulisan penelitian ini meliputi lima bab. Dari
ke-lima bab tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan. Meliputi
latar belakang masalah, batasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,
dan manfaat penelitian.
Bab II Landasan Teori. Diuraikan mengenai pengertian sosiolinguistik,
masyarakat bahasa, variasi bahasa, kontak bahasa, bilingualisme, diglosia,
tingkat tututr bahasa Jawa, komponen tutur, dan pondok pesantren.
Bab III Metode Penelitian. Bab ini berisi tentang jenis lokasi penelitian,
data, sumberdata, populasi, sample, alat penelitian, metode pengumpulan data,
metode penyajian data, metode penyajian hasil analisis data.
Bab IV Hasil
Analisis Data dan Pembahasan. Bab ini merupakan hasil analisis dari keseluruhan
data mengenai pemakaian bahasa Jawa oleh Santri Ponpes DS Desa Gunungmadu,
Kedunglengkong, Simo, Boyolali
Bab V
Penutup. Bab ini adalah bagian akhir yang memuat tentang kesimpulan dan saran.
G. Kerangka Pikir
Secara sederharna kerangka berfikir tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
- Pesantren DS merupakan bentuk komunitas pemakai bahasa (dalam hal ini adalah santri) yang masih menjadi siswa di PDS sebagai besar mempunyai penguasaan lebih dari dua bahasa, sehingga PDS merupakan salah satu bentuk masyarakat multi lingual.
- Kegiatan Ta’lim merupakan kegiatan formal dari PDS dan rutin.
- Dalam kegiatan Tak’lim terjadi peristiwa komunikasi lisan formal, non formal yang dilakukan oleh santri PDS dan masyarakat.
- Santri PDS merupakan merupakan komunitas yang sebagian besar memiliki kemampuan memakai dan menguasai lebih dari dua bahasa (multi lingual).
- Dalam melakukan kegiatan Ta’lim santri dan masyarakat memanfaatkan pilihan kode atau bahasa agar komunikasi yang dilakukan bisa bermanfaat untuk kepentingan baersama.
- Wujud alih kode, campur kode, interferensi, tingkat tutur dipengaruhi oleh pengetahuan yang dikuasai oleh santri dan masyarakat ketika mereka berkomunikasi. Ketika penutur berada dalam konteks domain situasi yang bersesuaian dengan tuntutan makna dan konteks.
- Untuk mengetahui makna dan konteks dalam peristiwa alih kode, campur kode, interverensi, dan tingkat tutur perlu ditemukan juga faktor yang menonjol yang memperngaruhi peristiwa tersebut, termasuk juga komponen tutur.
BAB II
LANDASAN TEORI
Landasan teori merupakan pedoman yang bersifat teoretis terhadap persoalan yang diangkat dalam penelitian. Landasan
teori yang dipakai dalam penelitian ini meliputi.
A. Sosiolinguistik
Pengertian sosiolinguistik dari berbagai pakar bahasa tidak jauh beda, di antaranya adalah menurut Abdul Chaer: sosiolinguistik merupakan cabang ilmu linguitik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor sosial di dalam masyarakat tutur (Abdul Chaer, 2004:4). Sosiolinguistik menurut pendapat lain merupakan kajian interdisipliner yang mempelajari pengaruh budaya terhadap cara suatu bahasa digunakan. Dalam hal ini bahasa berhubungan erat dengan masyarakat suatu wilayah sebagai subyek atau pelaku berbahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi antara kelompok yang satu dengan yang lain.
Sosiolinguistik sebagai cabang linguistik memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa di dalam masyarakat, karena dalam kehidupan bermasyarakat tidak lagi sebagai individu, akan tetapi sebagai masyarakat sosial. Oleh karena itu, segala sesuatu yang di lakukan manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi disekitarnya. Disimpulkan oleh I Dewa Putu Wijana dan Muhammmad Rohadi bahwa (2006:7) Sosiolinguistik sebagai ilmu interdisipliner yang menggarap masalah-masalah kebahasaan dalam hubunganya dengan faktor-faktor sosial, situasional, dan kultural.
Pengertian sosiolinguistik dari berbagai pakar bahasa tidak jauh beda, di antaranya adalah menurut Abdul Chaer: sosiolinguistik merupakan cabang ilmu linguitik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor sosial di dalam masyarakat tutur (Abdul Chaer, 2004:4). Sosiolinguistik menurut pendapat lain merupakan kajian interdisipliner yang mempelajari pengaruh budaya terhadap cara suatu bahasa digunakan. Dalam hal ini bahasa berhubungan erat dengan masyarakat suatu wilayah sebagai subyek atau pelaku berbahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi antara kelompok yang satu dengan yang lain.
Sosiolinguistik sebagai cabang linguistik memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa di dalam masyarakat, karena dalam kehidupan bermasyarakat tidak lagi sebagai individu, akan tetapi sebagai masyarakat sosial. Oleh karena itu, segala sesuatu yang di lakukan manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi disekitarnya. Disimpulkan oleh I Dewa Putu Wijana dan Muhammmad Rohadi bahwa (2006:7) Sosiolinguistik sebagai ilmu interdisipliner yang menggarap masalah-masalah kebahasaan dalam hubunganya dengan faktor-faktor sosial, situasional, dan kultural.
B. Masyarakat Bahasa
Dalam kamus linguistik masyarakat bahasa (speech community) adalah kelompok
orang yang merasa memiliki bahasa bersama atau yang merasa termasuk dalam
kelompok itu, atau yang berpegang pada bahasa standar yang sama (Harimurti
krida laksana, 2001:134). I Dewa Putu Wijana dan muhammad Rohadadi (2006:46)
menyebut masyarakat bahasa dengan istilah masyarakat tutur. Mereka berpendapat
bahwa masyarakat tutur adalah sekelompok orang dalam lingkup luas atau sempit
yang berinteraksi dengan bahasa tertentu yang dapat dibedakan dengan kelompok
masyarakat yang lain atas dasar perbedaan bahasa yang bersifat signifikan.
Masyarakat Bahasa (Speech Community)
menurut para pakar antara lain, John Gumperz (1968) Masyarakat bahasa adalah
sebuah bangsa, masyarakat subwilayah, asosiasi sekelompok orang dalam
pekerjaan, atau geng suatu lokasi yang mencirikan keganjilan bahasa. Dell Hymes
(1972/1973) Masyarakat bahasa adalah semua anggota masyarakat yang tidak hanya
menggunakan satu aturan yang sama secara bersama-sama dalam berbicara, tetapi
juga menggunakan setidak-tidaknya satu variasi bahasa. Glyn Williams (1992)
Masyarakat bahasa adalah sekumpulan individu dalam interaksi. Bernard Spolski
(2003) Masyarakat bahasa adalah semua orang yang menggunakan satu bahasa dengan
pengucapan dan gramatika yang sama atau berbeda.
Dalam sosiolinguistik
Dell Hymes tidak membedakan secara eksplisit antara bahasa sebagai sistem dan
tutur sebagai keterampilan. Keduanya disebut sebagai kemampuan komunikatif (communicative
competence). Kemampuan komunikatif meliputi kemampuan bahasa yang dimiliki
oleh penutur beserta keterampilan mengungkapkan bahasa tersebut sesuai dengan.
fungsi dan situasi serta norma pemakaian dalam konteks sosialnya.
Kemampuan komunikatif yang dimiliki individu maupun kelompok disebut verbal
repertoire. Verbal repertoire dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu verbal repertoire yang dimiliki individu dan yang
dimiliki masyarakat. Jika suatu masyarakat memiliki verbal
repertoire yang relatif sama dan memiliki penilaian yang sama terhadap
pemakaian bahasa yang digunakan dalam masyarakat disebut masyarakat
bahasa. Berdasarkan verbal repertoire yang dimiliki oleh
masyarakat, masyarakat bahasa dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) Masyarakat
monolingual (satu bahasa), (2) masyarakat bilingual (dua bahasa), (3)
masyarakat multilingual (lebih dari 2 bahasa).
C. Variasi Bahasa /Ragam
Bahasa
Variasi atau ragam bahasa merupakan bahasa pokok dalam studi
sosiolinguistik (Abdul Chaer, 2004:5). Sebagai sebuah langue sebuah
bahasa mempunyai sistem dan sub sistem yang dipahami sama oleh semua penutur
bahasa itu. Namun, karena penutur bahasa tersebut, meski berada dalam
masyarakat tutur tidak merupakan kumpulan manusia yang homogen, maka wujud
bahasa yang kongret disebut parole, menjadi tidak seragam. Sehingga bahasa
menjadi bervariasi, terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan
hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena
kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat beragam. Dalam hal variasa
atau ragam bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi atau ragam bahasa itu
dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman
fungsi bahasa itu. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk
memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang
beraneka ragam. Atau dengan kata lain, variasi bahasa pertama-tama dibedakan
berdasarkan penutur dan penggunanya. Abdul Chaer
dan Leonie Agustina (2004:62) mengklasifikasikan variasi-variasi bahasa sebagai
berikut.
1.
Variasi dari Segi Penutur
Pertama, variasi dari segi penutur adalah Idiolek, yaitu
variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Hal ini berkenaan dengan suara,
pilihan kata, gaya bahasa, dan susunan kalimat. Kedua, Dialek yaitu
variasi bahasa dari sekelompok penutur yang yang jumlahnya relatif, yang berada
pada suatu tempat, wilayah, atau area tertentu. Ketiga, Kronolek atau
dialek temporal yaitu variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok
sosial pada masa tertentu. Keempat, Sosiolek atau Dialek
sosial yaitu variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan,
dan kelas sosial para penuturnya. Sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan
dengan tingkatan, golongan status, dan kelas sosial biasanya dikemukakan orang
variasi bahasa yang disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial,
jargon, argot dan ken. Adajuga yang menyebut dengan
bahasa prokem.
2.
Variasi dari Segi Pemakaian
Variasi bahasa
berkenaan dengan penggunaanya, pemakainya, atau fungsinya disebut fungsiolek (Nababan:1984,
dalam Abdul Chaer:2004), ragam atau register. Variasi ini biasanya dibicarakan
berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana
penggunaan. Variasi ini menyangkut bahasa itu digunakan untuk apa. Misalnya
dalam bidang agama, pendidikan dan lain sejenisnya.
3.
Variasi dari Segi Keformalan
Berdasarkan keformalan, (Martin Joos:1967, dalam Abdul Chaer:2004) membagi
bahasa menjadi lima macam gaya (selanjutnya disebut ragam), yaitu gaya atau
ragam beku (frozen), gaya atau ragam resmi (formal), gaya
atau ragam usaha (konsulatif). Gaya atau ragam Santai (casual),
dan gaya atau ragam akrab (intimate).
a.
Ragam beku
Ragam beku adalah variasi bahasa
yang paling formal, yang digunakan dalam situasi khidmat, dan upacara-upacara
resmi. Misalnya dalam khutbah di masjid, upacara kenegaraan, dan lain
sejenisnya.
b.
Ragam resmi
Ragam resmi atau formal adalah
variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenegaraan, rapat dinas, surat
menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran dan lain sejenisnya.
c.
Ragam usaha atau ragam konsulatif
Ragam usaha adalah variasi bahasa
yang lazim digunakan dalam pembicaraan disekolah, dalam rapat-rapat atau
pembicaraan yang berorientasi kepada hasil atau produksi. Atau dengan kata lain
ragam ini adalah ragam bahasa yang paling oprasional. Wujud ragam ini berada diantara
ragam formal dan ragam informal.
D.
Ragam santai atau ragam kasual
Ragam santai adalah fariasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi
untuk berbincang-bincang. Bentuk santai ini banyak mengunakan bentuk alegro,
yaitu bentuk kata atau ujaran yang di pendekkan. Kosakatanya banyak dipenuhi
unsur leksikal dialek dan unsur bahasa daerah, begitu juga dengan struktur
morfologi dan sintaksis yang normatif tidak digunakan.
E.
Ragam akrab atau ragam imtimate
Ragam akrab adalah variasi bahsa yang biasa digunakan oleh para penutur
yang hubunganya sudah akrab, seperti teman yang sudah akrab. Ragam ini ditandai
dengan penggunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan dengan
artikulasi yang tidak jelas. Hal ini terjadi karena di antara partisipan sudah
ada saling pengertian dan memiliki pengetahuan yang sama.
1.
Variasi dari Segi Sarana
Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang
digunakan. Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam lisan dan ragam tulis atau
juga ragam dalam bahasa dengan mengunakan sarana atau alat tertentu, misalnya
bahasa dalam telepon atau bahasa dalam SMS (short massage
service) layanan pengiriman data via Handphone. Adanya
ragam bahasa ini memiliki wujud atau struktur yang tidak sama. Adanya
ketidaksamaan wujud struktur ini karena dalam berbahasa lisan atau dalam
menyampaikan informasi secara lisan, kita dibantu oleh unsur-unsur nonsegmental
atau unsur nonlinguistik yang berupa nada atau suara gerak-gerik tanggan dan
sejumlah gejala-gejala lainnya, tetapi dalam bahasa tulis hal tersebut tidak
ada dan diekspresikan secara verba.
2.
Kontak Bahasa
Dalam masyarakatn sosial, artinya masyarakat yang angotanya dapat menerima
kedatangan angota dari masyarykat lain, baik dari satu atau lebih dari satu
masyarakat akan terjadi kontak bahasa (Abdul Chaer, 1984:65). Kontak bahasa itu
merupakan bentuk-bentuk yang mungkin saja tidak sesuai dengan standar yang
berlaku pada masyarakat yang mengalami kontak bahasa. Bahasa Indonesia tentu saja memiliki karakter khusus karena dia berakar dari
tradisi etnik lokal yang kemudian dimodifikasi dan diadopsi menjadi bahasa
persatuan yang berfungsi sebagai perekat keberagaman etnik. Bahasa Indonesia
bersifat fleksibel dan ini tampak dalam berbagai dialek misalnya bahasa
Indonesia dialek Betawi, dialek Banyumas, dialek Surakarta, dialek
Yogyakarta, dialek Sulawesi Selatan, dialek Palembang, dialek Papua dan lain
sebagainya, dan menurut Saussure dalam Chaer (2004), hal ini adalah aspek
parole dari bahasa. Dari kontak bahasa tersebut akan denagn mengunakan
dwibahasa tersebut sehingga menimbulkan alih kode, campur kode, dan
interverensi.
3.
Alih Kode
Menurut Appel
(1976:79) dalam Abdul Chaer (2004:114) mendefinisikan alih kode sebagai gejala
peralihan bahasa karena perubahan situasi. Tetapi menurut Dell Hymes, dalam
Kunjana Rahardi (2001:20) menyatakan bahwa alih kode bukan hanya terjadi antar
bahasa, tetapi dapat juga terjadi antar ragam-ragam atau gaya-gaya yang berbeda
dalam suatu bahasa. Abapila seseorang berkomunikasi semula mengunakan bahasa
Jawa, kemudian beralih mengunakan bahsa Indonesia, atau berubahnya dari ragam
santai menjadi ragam resmi atau kebalikanya, maka peralihan pengunaan bahasa
seperti itu disebut alih kode (code switching) di dalam sosiolinguistik
peristiwa alih kode bias berwujud alih varian, alih ragam alih gaya atau alih
register ( Soewito damam Kunjana Rahardi, 1983:67).
Sedangkan
pendapat Soewito dalam Abdul Chaer (2004: 144) alih kode terdiri dari dua,
yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern. Yang
di maksud alih kode interen adalah alih kode yang berlangsung
antar bahasa sendiri, seperti bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau
sebaliknya. Sedangkan alih kode ekstern terjadi
antara bahasa sendiri dengan bahasa asing.
4.
Campur Kode
Hampir rancu
pengertian alih kode dan campur kode, kesamaan yang ada antara alih kode dan
campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari
sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Banyak ragam pendapat
mengenai nilai keduanya namun, yang jelas kalau dalam alih kode setiap bahasa
atau ragam bahasa yang digunakan itu masih memiliki fungsi otonom
masing-masing, dilakukan dengan sadar, dengan sengaja dengan sebab-sebab
tertentu.
Menurut
Thender (1976) seperti yang di kutip oleh Abdul Chaer (2004:115) dalam
membedakan campur kode dengan alih kode apabila dalam suatu peristiwa tutur
terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa kebahasa lain, maka peristiwa
tersebut adalah alih kode. Tetapi didalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa
maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari clausa dan frasa campuran (hybrid
Clases, hybrid phalase), dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi
mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa tersebut merupakan peristiwa
campur kode. Fasold, dalam Abdul Chaer (2004:115) menawarkan kriteria
gramatikal untuk membedakan campur kode dari alih kode. Kalau seseorang menggunakan satu kata atau frasa dari satu bahasa, dia
telah melakukan campur kode. Tetapi apabila satu klausa jelas-jelas
memiliki struktur gramatikal satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun klausa
dengan bahasa lain, maka peristiwa tersebut adalah alih kode.
5.
Interferensi
Istilah interferensi pertama
kali digunakan oleh Weinreich (1953) dalam Abdul Chaer (2004:120) untuk
menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan
adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain
yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Penutur bilingual adalah penutur
yang mengunakan dua bahasa secara bergantian, dan penutur multi lingual,
masyarakat pengguna bahasa-bahasa secara bergantian.
6.
Bilingualisme
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism)
dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Secara harfiah bilingualisme merupakan
penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Bilingualisme diartikan
sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulanya dengan
orang lain secara bergantian (Abdul Chaer 2004:84). Pendapat Blomfield
mengenai bilingualisme, yaitu kemampuan seorang penutur untuk
menggunakan dua bahasa secara sama baiknya, menguasai dua buah bahasa, berarti
menguasai dua buah sistem kode (Blomfield dalam Abdul Chaer, 1933:87).
Pakar lain
berpendapat bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan
bahasa secara bergantian, dari bahasa yang satu kebahasa yang lain, oleh
seorang penutur (Mackey dalam Abdul Chaer
2004:87). Pergantian dalam pemakaian bahasa dilatarbelakangi dan
di tentukan oleh situasi dan kondisi yang di hadapi oleh penutur itu dalam
tindak tutur (bdk.Sumarsono dalam Kunjana Rahardi, 2001:14). Macnamara, seperti
yang dikutip oleh Kunjana Rahardi (2001:14), mengatakan bahwa batasan
bilingualisme pemilikan penguasan (mastery) atas paling sedikit bahasa
pertama dan bahasa kedua.
7.
Diglosia
Ferguson
mengunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan
suatu masyarakat dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup
berdampingan dan masing-masing memiliki peranan tertentu (Ferguson dalam Abdul
Chaer, 2004:92). Menurut Ferguson dalam masyarakat diglosis terdapat dua
variasi dari satu bahasa : variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat
dialek T atau ragam T), dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat dialek
R atau ragam R). Menurut Fishman seperti yang di kutip oleh Kunjana Rahardi
(2001:14), melihat diglosia sebagai adanya perbedaan fungsi, mulai adanya perbedaan
stilistik dari sebuah bahasa sampai adanya perbedaan fungsi dari dua buah
bahasa yang berbeda yang terdapat antara dialek, register, atau fariasi bahasa
secara fungsional.
Fasold,
dalam (Abdul Chaer, 2004: 98) konsep diglosia dikembangkan menjadi apa yang
disebut broad diglosia (diglosia luas). Di dalam konsep broad
diglosia perbedaan itu tidak hanya antara dua bahasa atau dua ragam
atau juga dua dialek secara biner, melainkan bisa lebih dari dua bahasa atau
dua dialek itu. Dengan demikian termasuk juga keadaan masyarakat yang di
dalamnya ada perbedaan tingkat fungsi kebahasaan, sehingga muncullah apa yang
disebut oleh Fasold diglosia ganda dalam bentuk yang
disebut doubel overlapping diglosia adalah adanya situasi
pembedaan derajat dan fungsi bahasa secara berganda, double-nested
diglosia adalah keadaan dalam masyarakat multi lingual, dimana
terdapat dua bahasa yang diperbedakan : satu sebagai bahasa T dan yang lain
sebagai bahasa R, dan linear polyglosia dimana
dalam masyarakat multi lingual terdapat bahasa yang mempunyai dua kedudukan.
8.
Tingkat Tutur Bahasa Jawa
Ketika seseorang berbicaara selain memperhatikan kaidah-kaidah bahasa, juga
harus memperhatikan siapa orang yang diajak bicara. Berbicara dengan orang tua
berbeda dengan berbicara pada anak atau yang seumur. Tingkat tutur merupakan
sisitem ragam bahasa menurut hubungan antara pembicara, secara kasar dari bentuk ngoko, madya dan krama (Harimurti Kridalaksana,
1993:223). Sry Satriya Tjatur Sasangka (1997:1) mengunakan mengunakan
istilah unggah-ungguh bahasa untuk menyebut istilah tingkat
tutur bahasa yang di gunakan oleh Harimurti Krida Laksana. Begitu juga Aryo
Bimo Setiyanto (2007:26) menyebut tingkat tutur bahasa Jawa dengan
istilah unggah-ungguhing basa.
Dalam Parama Sastra Bahasa Jawa tingkat tutur bahasa Jawa pada dasarnya di
bagi menjadi tiga, yaitu ngoko, madya, dan krama. Selain
itu orang-orang Istana/ Kedhaton mengunakan bahasa Kedhatonatau
sering disebut bahasa bagongan, sehingga tingkat tutur bahasa
Jawa dapat di bagi menjadi empat bagian, yaitu ngoko, madya, krama, dan
kedhaton. Ngoko dibagi menjadi dua, (1) ngoko lugu, (2) ngoko
andhap. Madya dibagi menjadi tiga, (1) madya ngoko,
(2) madya krama, dan (3) madyaantara. Krama dibagi
menjadi lima, yaitu (1) mudha krama, (2) kramantara,
(3) wredha krama, (4) krama inggil, dan (5) krama
desa. Bahasa kedhaton tidak dibagi tetapi hanya disebut
dengan bahasa bagongan (Aryo Bimo Setiyanto, 2007:26).
Karti Basa dalam Sry
Satriya Tjatur Wisnu Sasangka (2007:12-13) disebut bahwa tindak tutur bahasa
Jawa dengan istilah undha-usuk bahasa Jawa terdiri dari
(1) ngoko,(2) madya, (3) krama, (4) karama
inggil, (5) kedhaton, (6) krama desa, dan (7) kasar.
Tingkat tutur ngoko dibedakan menjadi dua, yaitu ngoko
lugu dan ngoko andhap. Ngoko andap dibedakan lagi
menjadi dua, yaitu ngoko antyabasa dan basaantya. Tingkat
tutur madya di bedakan menjadi tiga, yaitu (1) madya
ngoko, (2) madyaantara, dan (3) madya krama. Tingkat
tutur Krama Juga dibedakan lagi menjadi tiga, yaitu (1) mudha
karama, (2) karam antara, dan (3) wredha karama.
Tingkat tutur bahasa Jawa yang disusun oleh Soepomo Poedjo Soedarmo dkk.
(1979) disebut bahwa tingkat tutur Bahasa Jawa terdiri dari tiga macam yaitu,
(1) bahasa ngoko yang terdiri dari bahasa antya, antya
bahasa. Poerbatjaraka
dalam Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka (2007:17) berpendapat bahwa tingka
tutur bahasa Jawa pada prinsipnya hanya terdiri dari empat macam, yaitu ngoko,
krama, ngoko krama, dan krama ngoko. demikian juga
halnya dengan Hadiwijana, menbagi tingkat tutur Jawa menjadi basa baku,
basa krama, basa madya, dan bahasa hurmat. Sudaryanto
juga membagi tingkat tutur menjadi empat, yaitu, ngoko, krama alus,
karama, dan krama alus.
Eko Wardono dalam Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka (2007:18)
mengelompokkan tingkat tutur bahasa Jawa menjadi dua yaitu ngoko dan krama. Jika
tingkat tutur ngoko di tambah krama inggil, tingkat
tutur tersebut akan menjadi ngoko alus. Jika tingkat
tutur krama ditambah krama inggil, tingkat
tutur tersebut akan menjadi krama inggil, tingkat tutur
tersebut hanya berupa ngoko lugu atau krama
lugu. Jadi ada kesamaan antara pendapat Sudaryanto dengan Eko
Wardonono.
Berdasarkan uraian diatas tingkat tutur bahasa Jawa hanya terdiri atas dua
bentuk yaitu, bentuk ngoko dan bentuk krama. Hal
itu disebabkan karena tidak semua bentuk ngoko selalu
mempunyai mempunyai padanan bentuk madya dan bentuk krama (istilah
Purwo) atau tidak selalu mempunyai padanan bentuk ngoko
alus dan krama alus (istilah Sudaryanto), atau tidak
selalu mempunyai padanan bentuk ngoko lugu dan krama
lugu. Akan tetapi, setiap bentuk ngoko dapat
dipastikan mempunyai padanan bentuk krama, demikian pula
sebaliknya, setiap bentuk krama selalu mempunyai padanan bentuk ngoko.
1.
Ragam Ngoko
Yang dimaksud dengan ragam ngoko adalah bentuk unggah-ungguh
bahasa Jawa yang berintikan leksikon ngoko, atau yang menjadi inti ragam ngoko
adalah leksikon ngoko bukan leksikon yang lain. Tingkat tutur ini merupakan
tingkat tutur yang menunjukkana kesopanan rendah. Biasanya
digunakan oleh orang yang sudah akrab atau petutur yang lebih tinggi kedudukan
sosial dengan mitra tutur lebih rendah. Afiks yang muncul dalam ragam ini
semuanya berbentuk ngoko (misalnya, afik di-, dan ake).
Ragam ngoko umumnya digunakan oleh orang yang tingkat tutur lebih tinggi status
sosial, orang yang lebih tinggi tingkat umurnya, dan orang yang sudah akrab.
Dalam ragam ini ada dua bentuk varian, yaitu ngoko lugu dan ngoko
alus.
Ø Ngoko lugu, semua kata dalam tingkat ini bentuk ngoko dan netral (leksikon
ngoko dan leksikon netral) tanpa ada leksikon yang lain (leksikon krama, krama
inggil, krama andap).
Ø Ngoko alus, percampuran leksikon ngoko, netral dan krama
(krama ingil atau krama andap) tetapi yang dominan adalah leksikon ngoko, leksikon
krama ( krama inggil atau krama andap) yang muncul dalam ragam ini hanya
digunakan sebagai penghormat mitra tutur (O2 atau O3). (Sri Satriya Tjatur
wicaksana, 2007: 103).
2.
Ragam Krama
Tingkat tututr krama, merupakan ragam atau tingkat tutur
bahasa Jawa yang berintikan leksikon krama bulan leksikon yang lain. Afik yang
sering muncul dalam ragam ini adalah afik berbentuk karama (misalnya, dipun-,
-ipun, dan –ake). Ragam krama mencerminkan penuh rasa sopan
santun. Digunakan oleh orang yang belum kenal atau petutur yang lebih rendah
tingkat status sosial kepada tingkat sosial yang lebih tinggi atau penutur yang
lebih muda dari mitra tutur. Ramam karama memiliki dua varian yaitu, krama
lugu dan krama alus.varian ini berbeda secara
etik, tetapi berbeda secara emik.
Ø Krama lugu, semua kata dalam tingkat ini bentuk krama, meskipun begitu yang
menjadi leksikon inti adalah dalam ragam krama lugu adalah
krama, madya, dan/ atau netral sedangkan krama inggilatau krama
andap yang muncul dalam ragam ini hanyalah digunakan untuk menghormati
lawan bicara.
Ø Krama alus, percampuran antara leksikon krama dan ngoko, tetapi
yang dominan adalah leksikonkrama.
Secara sederharna dapat di gambarkan seperti berikut:
Tingkat Tutur Bahasa Jawa
ngoko krama
ngoko lugu ngoko alus krama
lugu krama alus
ngoko ngoko krama krama
netral netral netral netral
krama madya krama inggil
krama inggil ngoko krama andhap
krama andhap krama inggil
krama andhap
Tampak bahwa leksikon krama
inggil dan/ atau krama andhap selalu muncul
dalam ngko alus, krama lugu, dan krama alus. Tingkat
tutur bahasa Jawa hanya terdiri atas dua macam yaitu bentuk ngoko dan
bentuk Krama (Sri Satriya Tjatur wicaksana,2007: 129). Bentuk ngoko
lugu dan ngoko alus sebenarnya hanya merupakan varian dalam
ragam ngoko. Demikian pula antara krama lugu dan krama
alus juga hanya merupakan varian ragam krama. Bentuk ngoko
lugu dan ngoko alus serta krama lugu dan krama
alus, memang berbeda secara etik tetapi tidak berbeda secara emik.
Yang berbeda secara emik hanyalah antara bentuk ngoko dan
bentuk krama. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa tingkat
tutur atau unggah-ungguh bahasa Jawa secara emik terdiri atas ngoko dan krama, secara
etik tingkat tutur atau unggah-ungguh bahsa Jawa terdiri atas ngoko
lugu dan ngoko alus; krama lugu dan krama
alus. Secara etik, ngoko lugu dan ngoko alus memang
berbeda, tetapi secara emik tidak berbeda karena hanya merupakan varian.
Demikian pula krama lugu dan krama alus juga
hanya berbeda secara etik, tetapi tidak berbeda secara amik. Secara emik krama
lugu dan krama alus hanya merupakan varian.
9.
Komponen Tutur/Speaking
Suatu komunikasi antara orang satu dengan orang lain yang bentuk
kebahasaannya berbeda, menurut Dell Hymes (1972) dalam Abdul Chaer (2004:48)
bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen adalah (a) Setting
and Scene, (b) Participants, (c) Ends, (d) Act sequence, (e) Key, (f)
Instrumentalities, (g) Norm of interpretation, (h) Genres.
a.
Setting and scene
Seting berkenaan denga waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu
pada latar psikolagis pembicaraan. Waktu, tempat dan situasi tuturan yang
berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi yang berbeda. Dalam penelitian ini
mengambil tempat di ponpes Darusy Syahadah desa Kedunglengkong, Simo, Boyolali.
b.
Participants (partisipan)
Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam petuturan, bisa
pembicara dengan pendengar, penyapa dengan pesapa, atau pengirim dengan
penerima (pesan). Dalam penelitian ini pihak pihak yang terlibat adalah santri
(murid) dengan santri, santri dengan ustad (pengajar), dan santri dengan peneliti
atau orang lain.
c. Ends (tujuan)
Ends, merujuk pada maksud dan tujuan petutur. Peristiwa tutur di kelas bermaksud
untuk menyampaikan materi atau ilmu dengan tujuan agar santri menguasai materi.
d. Act sequence (ututan tindak)
Act sequence mengacu pada
bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran
ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana pengunaanya, dan
hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Pembicaran pada
situasi belajar mengajar berbeda dengan situasi pada saat olah raga.
F.
Key (kunci)
Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat dimana suatu pesan disampaikan: dengan
senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong dan lain sejenisnya.
Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.
g. Instrumentalities (alat)
Instrumentalis, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis
melalui surat atau SMS. Hal ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan,
seperti bahasa, dialek, dan register. Dalam penelitian ini lebih dominan adalah
bahasa lisan yang dipakai dalam komunikasi sehari-hari.
h. Norm of interpretation (norma interprestasi)
Norm of interpretation, mengacu pada
norma atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara
berinterupsi, bertanya, dan sebagainya. Juga mengacu pada norma penafsiran
terhadap ujaran dari lawan bicara.
i.
Genre (jenis)
Genre, mengacu pada jenis bentuk
penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sejenisnya.
10. Pondok Pesantren
Pondok Pesantren adalah sebuah lembaga yang multi fungsi, dalam arti bahwa
disamping pesantren berfungsi sebagai lembaga pendidikan dan sebagai pengajaran
agama Islam, sekaligus juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan umum, lembaga
sosial, politik dan lembaga kebudayaan. Sebagai lembaga keagamaan, lembaga
Ponpes merupakan pusat pendidikan, pembinaan, pengkajian dan pengembangan
ajaarn-ajaran agama Islam, dan sebagai tempat untuk mencetak dan menggodok
kader-kader ulama Islam. Sejarah juga membuktikan peranan pesantren dalam
menentang penetrasi dan dominasi kolonial di bidang politik sosial budaya,
ekonomi dan agama (Ahmad Yunus, 1995).
Selain Sebagai lembaga pendidikan keagamaan, Ponpes dewasa ini juga
sekaligus berfungsi sebagai lembaga pendidikan umum. Modernisasi menurut
ketrampilan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejalan dengan itu,
maka para santri tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mendalami ilmu-ilmu
agama saja, melainkan juga dituntut untuk ketrampilan dan penguasaan IPTEK. Oleh
sebab itu, dewasa ini banyak pondok pesantren yang sekaligus juga.
Menyelengarakan pendidikan umum dan tingkat sekolah dasar hinga perguruan
tinggi. Sisi lain dari sebuah lembaga pesantren adalah sebagai wadah interaksi
dan komunikasi orang-orang dari latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda.
Ponpes Darusy Syahadah merupakan salah satu Ponpes di wilayah Boyolali.
Ponpes tersebut didirikan oleh yayasan Yasmin Surakarta. Ponpes Darusy Syahadah
terdiri dari dua wilayah, yaitu Ponpes Darusy Syahadah Putra yang beralamat di
Dukuh Gunungmadu, Kelurahan Kedunglengkong, Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali,
Jawa Tenggah dan Ponpes Darusy Syahadah Putri yang perlokasi di Dukuh Kauman,
Kelurahan Blagung, Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali.
Ponpes tersebut terdiri dari lembaha pendidikan Ponpes SLTA dan Pasca SLTA
atau Perguruantinggi. Diantaranya yang setingkat SLTA adalah kuliyatul
Mu’allimin setara dengan SLTA untuk Santri Laki-laki, Kulliyatul Mu’allimat
atau SLTA untuk Santri Putri. Sedang yang setara dengan Perguruan Tinggi adalah
Takhosshus I’dadud Du’at yaitu pasca SLTA untk santri Putra dan Takhosshuas
I’dadaud Da’iyat yaitu untuk pasca SLTA santri putri.
Salah satu program rutin yang dijalankan oleh PDS adalah kegiatan Ta’lim,
kegiatan merupakan pengapdian santri terhadap masyarakat sekitar. Adapun
kegiatan ta’lim adalah pembelajaran TPA dan Tausiah. TPA di mulai pukul empat
sore sampai dengan magrip, dilanjutkan sholat dan tausiah. Kegiatan ini
dilakukan setiap hari selasa dan jum’at, tetapi jika menggu pertama hari jum’at
diajukan hari kamis. Lingkup wilayah kegiatan ta’lim hampir seluruh kecamatan
simo, yang tersebar di masjid-masjid dan mushola.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian
Penelitian deskriptif kualitatif, maksudnya penelitian yang berupaya untuk
mendeskripsikan data kebahasaan. Secara umum metode kualitatif merupakan metode
pengkajian atau metode penelitian terhadap suatu masalah yang tidak didesain
atau dirancang menggunakan prosedur-prosedur statistik (Edi Subroto, 1992:5).
B.
Lokasi Penelitian
Sesuai dengan keadaan situasi kebahsaan maka lokasi penelitian mengambil
sebagian di Ponpes Darusy Syahadah dan sebagian di tempat Ta’lim (masjid di
sekitar kecamatan Simo, kabupaten Boyolali, Jawa Tenggah). lokasi tersebut
dipilih sebagai lokasi penelitian karena, lokasi tersebut merupakan tempat di
mana santri dapat berkomunikasi dengan masyarakat secara leluasa, sehingga di
mungkinkan banyak terjadi pengunaan bahasa lebih dari satu terutama bahasa Jawa
yang menjadi data kebahasaan yang lebih di utamakan dalam penelitian ini.
C.
Data
Data dalam penelitian ini berupa data lisan. Data lisan sebagai data utama
yang akan diteliti. Data lisan berupa bahasa dari semua aktivitas kebahasaan
yang mengandung alih kode, campur kode, dan interferensi. Data lisan merupakan
data kebahasaan yang hidup dalam masyarakat pemakai bahasa yang akan diteliti
yaitu santri Ponpes DS. Data lisan berupa bahasa dari semua aktivitas
kebahasaan yang mengandung alih kode, campur kode, dan interferensi. Data ini
berupa fenomena kebahasaan dengan segala aspeknya dari penutur pengguna bahasa
yang akan diteliti secara wajar dan alami, maksudnya tanpa dibuat-buat.
D.
Sumber Data
Sumber data lisan dalam penelitian kualitatif berupa tuturan lisan yang
berasal dari informan terpilih sebagai Pengguna bahasa dalam komunikasi di
Ponpes DS. Adapun kriteria informan: (1) Santri Ponpes DS yang masih tinggal di
Ponpes tersebut, (2) penutur bahasa Jawa, (3) memiliki alat ucap yang baik,
(memiliki waktu yang cukup untuk di wawancarai, (4) bersedia memberikan
informasi kebahasaan secara jujur. Informasi yang tepat maka akan diperoleh
data: (1) alamiah, maksudnya bahasa yang dipakai tidak direkayasa/diciptakan
secara mendadak tetapi sudah ada dalam kehidupan masyarakat, (2) lisan, kehadiranya
yaitu unsur yang dihadirkan berupa bunyi, (3) normal, maksudnya bahasa tersebut
kehadiranya secara normal baik dalam pemakaian maupun kejiwaan pemakaianya
sehingga sempurna kemaknaanya, (4) wajar, maksudnya situasi pemakaian dipakai
wajar oleh penuturnya.
E.
Populasi
Populasi adalah seluruh objek penelitian.
Populasi pada umumnya ialah keseluruhan individu dari segi-segi tertentu bahasa
(Subroto, 1992:32). Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan pemakai
bahasa oleh santri Ponpres Darussy Syahadah terutama bahasa yang di gunaan
dengan masyrakat yang mengandung alih kode, campur kode, dan interferensi.
F.
Sampel
Sampel penelitian adalah sebagian
dari populasi yang dijadikan objek penelitian langsung, yang mewakili atau
dianggap mewakili populasi secara keseluruhan (Subroto, 1992:32). Sampel
penelitian ini pemakai bahasa di Ponpes Darusy Syahadah. Teknik pengambilan
sampel sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian. Teknik purposive
sampling, yaitu pengambilan secara selektif dan benar-benar memenuhi
kepentingan dan tujuan penelitian berdasarkan data yang ada (D. Edi Subroto,
1985:28). Penelitian mengambil sampel di lingkup ponpes DS. Lingkup Ponpes yang
akan di teliti anrata lain.
1.
Lingkup santri KMI dan TID
- Jenis kegiatan dengan mengambil sampel pada siswa dalam kegiatan Ta’lim pada situasi resmi, santai, dan akrab.
G.
Alat Penelitian
Alat penelitian ada dua macam, yaitu alat utama dan alat bantu. Alat utama
yaitu peneliti sendiri, Peneliti dalam penelitian kualitatif dengan bantuan
orang lain merupakan alat pengumpul data utama. (Fatimah Djajasudarma, 1993:11). Alat bantu berupa alat
rekam (MP3, atau walkman), alat tulis (kertas, pena, pensil, seperangkat
komputer), dan alat-alat yang lain yang mendukung penelitian.
H.
Metode Penyajian Data
Metode simak dengan menyimak penggunaan bahasa santri Ponpes DS. teknik dasar
dengan mengunakan teknik sadap, yaitu mendapat data dengan cara
menyadap penggunaan bahasa para Santri.
Teknik lanjutan: (1) Teknik Simak Libat Cakap, Peneliti terlibat langsung
dalam pengambilan data, maksudnya peneliti terlibat dengan mitra tutur. (2)
Teknik Bebas Libat Cakap, maksudnya pengambilan data tanpa mengikut sertakan
penelitian untuk terlibat lagsung dalam percakapan. Peneliti hanya sebagai pengamat
yang berada di luar pembicaraan. (3) Teknik Rekam, teknik ini bisa secara
terbuka yaitu perekaman diketahui oleh pihak perekam dan secara tertup yaitu
perekaman yang tidak diketahui oleh pihak informan untuk mendapat data secara
wajar. (4) Teknik catat, Selain perekaman dilakukan pencatatan data yang di
perkirakan perlu perhatian atau keterangan khusus, seperti waktu dan tempat
terjadinya tindak tutur, identitas pentutu, situasi, tutur, dan tujuan tutur.
Teknik catat dipakai untuk mendokumentasi data dari hasil wawancara / obsevasi
(Sudaryanto, 1993:133-116). Untuk mendapatkan data pendukung agar data yang
diperoleh lebih lengkap dengan menambah Teknik Pustaka, yang dimaksud disini
adalah mengunakan sumber-sumber tertulis untuk meperoleh data. Sumbe-sumber
tertulis yang digunakan dipilih yang mencerminkan pemakaian bahasa singkronis
(Edi Subroto,1992: 42).
I.
Metode Analisis Data
Penelitian ini mengunakan metode distribusional dan metode padan untuk
menganalisis data. Metode distribusional untuk perumusan masalah pertama, untuk
perumusan masalah kedua dan ketiga mengunakan metode padan.
1. Metode Distribusional
Metode distribusional yaitu metode yang menganalisis satuan lingual
tertentu berdasarkan perilaku atau tingkah laku kebahasaan, satuan itu dalam
hubunganya dengan satuan lain. Metode distribusional digunakan untuk
menganalisis bentuk serta ragam bahasa Jawa yang digunakan dalam Ponpes DS.
Metode tersebut terurat atas teknik: urai unsur terkecil, urai unsur langsung,
oposisi pasangan minimal, oposisi dua-dua, pengantian atau subtitusi,
perluasan, pelepasan (delisi), penyisipan atau interupsi, pembalikan urutan
(permutasi), dan parafrasis (D.Edi Subroto, 1992:84).
Teknik dasar yang digunakan adalah teknik urai unsur langsung untuk
mengurai suatu konstruksi morfologi atau sintaksis tertentu kedalam unsur-unsur
langsung, berdasarkan intuisi yang didukung oleh penanda lahir (intonasi)
sehingga dapat menentukan unsur langsung suatu konstruksi.
Teknik pengantian atau subtitusi terwujud dalam dalam kemungkinannya
menggantikan satuan lingual atau unsur tertentu dari konstruksi morfologis atau
fraseologis tertentu oleh satuan lingual lain, Satuan lingual atau unsur yang
saling mengantikan itu termasuk dalam kelas struktural yang sama. Fungsi teknik
ganti ini untuk mengetahui kadar kesamaan kelas atau katagori unsur terganti
dengan unsur penganti, khususnya bila tataran penganti sama dengan tataran
terganti (Sudaryanto, 1993:48). Penerapan analisis ini dapat dijelaskan dalam tuturan sebagai berikut:
Ø Wah niki penguruse nembe mboten wonten. Ngeten mawon, mangkeh sonten nek
mase longgar, bisa kesini lagi. Rumahnya mana mas? (Data/Ponpes
DS/06/12/1008)
Wah ini pengurunya baru tidak ada. Begini saja, nanti sore kalau masnya longgar, bisa kesini lagi. Rumahnya
mana mas?
Dalam data diatas, penutur mengucapkan satu kalimat tetapi apabila
diuraikana akan terlihat sebagai berikut.
1a. Wah niki penguruse nembe mboten
wonten.
1b. Ngeten mawon, mangkeh
sonten nek mase longgar, bisa kesini lagi.
1c.. Rumahnya mana mas?
Dari tuturan
tersebut memuat ragam baku terlihat pada pengunaan kata-kata yang diucapkan
oleh penutur seperti niki, nembe, mboten, wonten, ngeten mawon,
mangkeh, sonten. Dalam hal pengunaan bahasa penutur mengunakan ragam bahasa
santai, dapat dilihat dari situasi dialog dengan orang yang belum dikenal.
Dari kalimat tersebut terjadi peristiwa campur kode. Peristiwa campur kode
terlihat pada kata-kata bisa kesini lagi. Padanan kata bisa
kesini lagi dalam bahsa Jawa adalah saget mriki maleh. Terjadi
alih kode dari semula mengunakan bahasa Jawa lalu mengunakan bahasa indonesia
peristiwa alih kode terlihat setelah tercadi campur kode dari tuturan Ngeten
mawon, mangkeh sonten nek mase longgar, bisa kesini lagi. kemudian
bertanya dengan bahasa Indonesia Rumahnya mana mas? Lata
belakang penutur terhadap mitra tutur adalah tamu, sehingga memungkinkan bahwa
penutur mengunakan bahasa lain dalam kalimat tersebut.
2.
Metode Padan
Metode Padan atau metode Identitas yaitu metode untuk menentukan identitas
satuan lingual tertentu dengan memakai alat penentu yang berada diluar bahasa
yang berupa konteks sosial dalam peristiwa penguanaan bahasa di masyarakat,
telepas dari bahasa, dan tidak menjadi bagia dari bahasa yang bersangkutan.
Metode padan dengan teknik referensial dengan alat penentu dengan referen
bahasa (segala sesuatu yang bersifat di luar bahasa), penentuan satuan lingual
dengan benda yang berdasarkan konvensi umum di masyarakat. Teknik tradisional
dengan penentu bahasa lain, teknik otografis bahasa tulis (ortografis). Teknik
alat penentunya lawan bicara, diantaranya tampak dalam pernyataan kalimat
perintah. Kalimat perintah ialah yang bila dinyatakan menimbulkan reaksi
tindakan tertentu pada lawan bicara (D. Edi Subroto, 1992:55-60).
Dari metode-metode di atas dapat dicantumkan contoh
sebagai berikut:
A : ’Assalamu’alaikum.’
‘Assalamu’alaikum.’
B : ’Wa’alaikum salam’.
‘Wa’alaikum salam.’
A : ’Mas nyuwun pirsa, ruang tamu ingkang pundi?’
‘Mas mau tanya, ruang tamu yang mana?’
B : ’Ruang tamu niku, ingkang pojok. Ada perlu apa mas?’
‘Ruang tamu itu, yang pojok. Ada perlu apa mas?’
A : ‘Niki
badhe pados informasi. Wonten brosur
mboten?’
’Ini mau cari
informasi. ada brosur tidak?’
B : ‘Wah niki penguruse nembe mboten wonten. Ngeten
mawon, mangkeh sonten nek mase
longgar, bisa kesini lagi. Rumahnya mana mas?’
’Wah ini pengurunya baru tidak ada. Begini saja, nanti sore kalau masnya longgar, bisa kesini lagi. Rumahnya
mana mas?’
A : ‘Saya rumahnya Canden. Ya udah makasih.’
’Saya rumahnya Canden, Ya udah makasih.’
B :’Ya sama-sama.’
’Ya sama-sama.’
A : ‘Assalamu’alaikum.’
’Assalamu’alaikum.’
B : ‘Wa’alaikum salam.’
’Wa’alaikum salam.’ Data/Ponpes
DS/06/12/2008
Data tersebut diambil pada tanggal 6 Desember 2008 pada situasi santai.
Dari data tersebut mengunakan bahasa krama,bahasa Indonesia dan bahasa Arab.
Leksikon ngeten ‘begini’, mawon ‘saja’, mangke ‘nanti’, sonten ‘sore’merupakan
leksikan krama, sedang pada kata ‘Ruang tamu niku, ingkang pojok. Ada perlu apa mas?’ merupakan alih kode, karena petutur berubah bahasa jadi semula
berbahasa Jawa selanjunya mengunakan bahasa Indonesia. Interferensi terdapat
dari bahasa arab ’ Wa’alaikum salam’ , kemudian bahasa Jawa ’Ruang tamu niku, ingkang pojok’. Dari bahasa
Indonesia’ Ya sama-sama’, ke bahasa Arab ’Wa’alaikum salam’. Funsi pemakaian bahasa Jawa pada tuturan tersebut sebagai penghormatan,
karena petutur dan mitra tutur belum kenal. Faktor yang melatarbelakangi
pengunaan alih kode, campur kode dan interferensi adalah situasi.
3.
Metode Penyajian Hasil Analisis
Metode penyajian analisis dalam penelitian ini, menggunakan metode
penyajian informal. Maksudnya rumuskan hasil analisis dengan bentuk uraian
berwujud kalimat-kalimat biasa. (Sudaryanto, 1993:145). Teknik
informal untuk mendeskripsikan adanya ragam bahasa dan bentuk-bentuknya. Hasil analisis data berupa kaidah kebahasaan yang berkaitan dengan rumusan
masalah serta disertai data pengunaan bahasa Jawa oleh santri di Ponpes DS,
dehingga dapat mempermudah pemahaman terhadap hasil-hasil penelitian yang
didapat.